Logo Gunadarma

Kamis, 17 Maret 2011

prosedur oprasional tabungan teller, aplikasi berbangkan, pearikan .

1. 1. Pembukaan Tabungan
Setiap pemohon yang akan membuka rekening tabungan wajib mengisi
formulir pembukaan tabungan yang terdiri dari tiga rangkap dan
didalamnya terdapat isian mengenai data pribadi pemohon. Selain
mengisi formulir pembukaan tabungan, pemohon diharuskan memberikan
fotocopy kartu identitas diri dan memberikan contoh tanda tangan yang
diserahkan kepada bagian yang bersangkutan yaitu teller dan seksi
tabungan. Langjkah berikutnya adalah pengisian slip setoran awal yang
telah dilengkapi dengan nomor tabungan dan nama tabungan.
2. Penyetoran Tabungan
Seorang nasabah jika ingin menambah rekening tabungannya maka ia akan
melakukan Penyetoran Tabungan. Penyetoran tabungan dapat dilaksanakan
dengan cara: setoran tunai, setoran kliring dan pemindahbukuan. Setiap
jenis penyetoran tersebut harus dilengkapi dengan slip setoran atau
Ticket.
3. Penarikan Tabungan
Penarikan tabungan dilaksankan dengan bantuan proses earmarking,
(pengkonfirmasian transaksi antar cabang) dimana petugas yang
bersangkutan langsung mengetahui posisi saldo rekening penabung
melalui bantuan input komputer. Dengan cara ini petugas yang
bersangkutan langsung dapat mengetahui ada tidaknya dana yang akan
ditarik direkening penabung.

PROSEDUR PENARIKAN

Penarikan dana dapat dilakukan kapan saja oleh para nasabah selama jam perbankan dengan kondisi tidak melebihi dari effective margin yang ada didalam laporan transaksi harian nasabah (statement report) dengan cara :

1. Mengisi formulir penarikan dana yang sekaligus ditanda tangani oleh nasabah.
2. Formulir penarikan dana yang telah di isi dan ditanda tangani oleh nasabah, selanjutnya diserahkan ke PT. Equityworld Futures untuk diproses lebih lanjut.
3. Dana yang ditarik hanya dapat ditransfer ke rekening atas nama nasabah yang membuka aplikasi rekening dan menandatangani buku perjanjian bertransaksi.
4. Penarikan dana yang biasanya di proses membutuhkan tiga hari kerja (T+3), tetapi PT . Equityworld Futures akan usahakan untuk di proses hanya satu hari kerja saja (T+1).

Pembukaan Rekening Bank

Sistem Aplikasi Pembukaan Rekening Bank

Langkah pertama yang di lakukan, yaitu menuju teller bank yang dituju sesuai dengan kebutuhan kita sebagai masyarakat untuk menanyakan step pembukaan rekening di Bank tersebut. Setelah itu mengisi perjanjian antara pihak Bank dengan nasabah. Jika semua sudah selesai perjanjian antara bank dengan nasabah, Kita akan mendapatkan no rekening yang kita mohon dari bank. Namun sebelumnya kita akan menyetor sejumlah uang untuk saldo awal tabungan kita.

Pada dasarnya nomor rekening tabungan merupakan berupa deretan angka yang unik. Fungsi no rekening di dalam sistemnya adalah sebagai field key sehingga proses perhitungan transaksi atau saldo untuk seorang nasabah tidak akan masuk ke norek nasabah lain, atau memudahkan mencari data nasabah.
Di dalam no rekening biasanya terkandung informasi mengenai identitas bank, sistem aplikasi yang di gunakan , kode mata uang, no urut nasabah dan cek digit yang digenerate secara otomatis oleh komputer. pada sistem aplikasi tabungan ini, jumlah digit yang di gunakan untuk no rekening adalah 11 digit.

Langkah pembukaan rekening tabungan dari segi pengoperasian sistem aplikasi adalah pemilihan dan penggunaan fasilitas menu yang di sediakan pada sistem tersebut. Banyaknya fasilitas menu yang tersedia pada sistem tersebut membutuhkan alur data yang jelas untuk pembukaan rekening.

Setelah kita mendapat nomor rekening, kita sudah mulai bisa melakukan transaksi antar bank. Seperti mengirim uang, menabung, menyimpan surat berharga, menerima kiriman uang, dan melakukan produk-produk lainnya dari bank yang bersangkutan.

Peraturan perbangkan BI

Peraturan : Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/10/PBI/2011 tanggal 9 Februari 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/19/PBI/2010 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing
Berlaku : Tanggal 9 Februari 2011

Ringkasan: Latar Belakang Pengaturan :

1. Peningkatan arus masuk modal asing telah mengakibatkan peningkatan kondisi likuiditas valuta asing perbankan secara signifikan. Arus masuk modal asing tersebut lebih bersifat jangka pendek dan berdampak pada kondisi ekses likuiditas valuta asing yang dapat menyebabkan instabilitas nilai tukar dan gangguan pada stabilitas ekonomi makro.
2. Oleh karena itu, diperlukan penguatan manajemen likuiditas valuta asing oleh bank dan pengelolaan arus modal asing oleh Bank Indonesia melalui kebijakan peningkatan giro wajib minimum dalam valuta asing.

Substansi Pengaturan :

1. Pokok-pokok pengaturan atau perubahan dalam PBI ini adalah sebagai berikut:
1. Bank wajib memenuhi Giro Wajib Minimum (GWM) dalam valuta asing sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam valuta asing.
2. Ketentuan pemenuhan GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada huruf a diatur sebagai berikut:
1. Sejak tanggal 1 Maret 2011 sampai dengan tanggal 31 Mei 2011, GWM dalam valuta asing ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari DPK dalam valuta asing.
2. Sejak tanggal 1 Juni 2011, GWM dalam valuta asing ditetapkan sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam valuta asing.
3. Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta asing akan dikenakan sanksi kewajiban membayar dalam valuta rupiah dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada hari terjadinya pelanggaran.
2. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Peraturan : Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/9/PBI/2011 tanggal 8 Februari 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No. 10/18/PBI/2008 Tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah
Berlaku : Sejak tanggal 8 Februari 2011

Ringkasan:

1. Dalam rangka menjaga kelangsungan usaha dan kualitas pembiayaan serta meminimalisasi risiko kerugian, Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah berkewajiban menjaga kualitas pembiayaannya, dimana salah satu upayanya dapat dengan melakukan Restrukturisasi Pembiayaan atas nasabah yang memiliki prospek usaha dan/atau kemampuan membayar.
2. Ketentuan ini mengatur hal-hal berupa:
1. Kualitas pembiayaan yang dapat dilakukan restrukturisasi.
2. Intensitas berapa kali restrukturisasi pembiayaan dapat dilakukan dan penetapan kualitas pembiayaan apabila melebih jumlah maksimal pelaksanaan restrukturisasi pembiayaan sesuai ketentuan.
3. Bank wajib menetapkan jumlah maksimal pelaksanaan restrukturisasi pembiayaan untuk pembiayaan dengan kualitas Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet.
4. Laporan restrukturisasi pembiayaan bagi BPRS.
3. Pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan, hendaknya menganut prinsip universal yang berlaku di perbankan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah.
4. Restrukturisasi Pembiayaan dapat dilakukan untuk Pembiayaan dengan kualitas Lancar, Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet.
5. Restrukturisasi Pembiayaan dengan kualitas Lancar dan Dalam Perhatian Khusus dapat dilakukan paling banyak 1 (satu) kali, dan apabila dilakukan lebih dari 1 (satu) kali digolongkan paling tinggi Kurang Lancar.
6. Bank wajib memiliki kebijakan dan Standard Operating Procedure tertulis mengenai Restrukturisasi Pembiayaan, termasuk didalamnya penetapan jumlah maksimal pelaksanaan restrukturisasi untuk Pembiayaan dengan kualitas Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet.
7. Restrukturisasi Pembiayaan dengan kualitas Kurang Lancar, Diragukan dan Macet, dapat dilakukan paling banyak sesuai ketentuan bank yang mengatur mengenai jumlah maksimal Restrukturisasi Pembiayaan, dan apabila dilakukan lebih dari jumlah maksimal tersebut digolongkan Macet sampai dengan Pembiayaan lunas.
8. Bank Indonesia berwenang menetapkan kualitas Pembiayaan yang berbeda dengan Bank, apabila Bank melakukan Restrukturisasi Pembiayaan tidak sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia mengenai Restrukturisasi Pembiayaan.
9. BPRS wajib melaporkan Restrukturisasi Pembiayaan secara on-line kepada Bank Indonesia, sejak pelaporan bulan Mei 2011 yang disampaikan bulan Juni 2011 dan pada masa transisi menyampaikan laporan Restrukturisasi Pembiayaan secara off-line dan on-line.

Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/5/DPNP tanggal 8 Februari 2011 perihal Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit
Berlaku : Sejak tanggal 31 Maret 2011

Ringkasan:

1. Tujuan

Tujuan dari dikeluarkannya SE ini adalah untuk: (i) meningkatkan transparansi mengenai karakteristik produk perbankan termasuk manfaat, biaya dan risikonya untuk memberikan kejelasan kepada nasabah, dan (ii) meningkatkan good governance dan mendorong persaingan yang sehat dalam industri perbankan melalui terciptanya disiplin pasar (market discipline) yang lebih baik.
2. Pokok-pokok pengaturan Suku Bunga Dasar Kredit (Prime Lending Rate)
1. Perhitungan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) merupakan hasil perhitungan dari 3 komponen yaitu (1) Harga Pokok Dana untuk Kredit atau HPDK; (2) Biaya overhead yang dikeluarkan Bank dalam proses pemberian kredit; dan (3) Margin Keuntungan (profit margin) yang ditetapkan untuk aktivitas perkreditan.
2. Dalam perhitungan SBDK, Bank belum memperhitungkan komponen premi risiko individual nasabah Bank. SBDK merupakan suku bunga terendah yang digunakan sebagai dasar bagi Bank dalam penentuan suku bunga kredit yang dikenakan kepada nasabah Bank.
3. Perhitungan SBDK dalam rupiah yang wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia dan dipublikasikan, dihitung untuk 3 jenis kredit yaitu (1) kredit korporasi; (2) kredit retail; dan (3) kredit konsumsi (KPR dan Non KPR). Untuk kredit konsumsi non KPR tidak termasuk penyediaan dana melalui kartu kredit dan kredit tanpa agunan. Penggolongan jenis kredit tersebut didasarkan pada kriteria yang ditetapkan oleh internal Bank. Selain itu, SBDK tersebut dihitung secara per tahun dalam bentuk persentase (%).
4. Bank wajib menyusun laporan perhitungan SBDK dalam rupiah yang memuat rincian perhitungan masing-masing komponen SBDK sesuai dengan tabel komponen perhitungan SBDK sebagaimana lampiran 1 SE ini.
5. Laporan perhitungan SBDK disampaikan kepada Bank Indonesia secara triwulanan bersamaan dengan penyampaian Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan. Namun demikian apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk menyampaikan laporan tersebut secara berkala atau sewaktu-waktu diluar periode penyampaian laporan.
6. Bank yang pada dan/atau setelah tanggal 28 Februari 2011 berdasarkan posisi Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) mempunyai total aset Rp10 T (sepuluh triliun rupiah) atau lebih, wajib melakukan publikasi informasi SBDK dalam rupiah melalui: (1) papan pengumuman di setiap kantor Bank; dan (2) halaman utama website Bank, dalam hal Bank memiliki website; dan (3) surat kabar yang dilakukan bersamaan dengan pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan untuk posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember.
7. Bagi Bank yang pada tanggal 28 Februari 2011 berdasarkan posisi Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) mempunyai total aset Rp10 T (sepuluh triliun rupiah) atau lebih, kewajiban publikasi informasi SBDK dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: (1) publikasi informasi SBDK melalui papan pengumuman di setiap kantor Bank dan halaman utama website Bank (dalam hal Bank memiliki website), untuk pertama kali dilakukan pada tanggal 31 Maret 2011; dan (2) publikasi informasi SBDK melalui surat kabar, untuk pertama kali dilakukan bersamaan dengan pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan untuk posisi akhir bulan Maret 2011.
8. Bagi Bank yang setelah tanggal 28 Februari 2011 berdasarkan posisi LBU mempunyai total aset Rp10 T (sepuluh triliun rupiah) atau lebih, kewajiban publikasi informasi SBDK dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: (1) publikasi informasi SBDK di kantor bank dan website, untuk pertama kali dilakukan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak Bank berdasarkan posisi yang tercatat di LBU mempunyai total aset Rp10 T (sepuluh triliun rupiah) atau lebih; dan (2) publikasi informasi SBDK di surat kabar untuk pertama kali dilakukan bersamaan dengan pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan pada triwulan yang sama dengan periode LBU sejak Bank tercatat mempunyai total aset Rp10 T (sepuluh triliun rupiah) atau lebih.
9. Dalam hal Bank total asetnya turun menjadi kurang dari Rp10 T (sepuluh triliun rupiah), Bank tetap wajib melakukan publikasi informasi SBDK.
10. Informasi SBDK yang dipublikasikan di kantor dan website Bank adalah informasi SBDK yang berlaku pada saat dipublikasikan. Sementara itu, informasi SBDK yang dipublikasikan di surat kabar adalah informasi SBDK yang berlaku sesuai dengan akhir periode Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan.
11. Perubahan SBDK wajib dipublikasikan melalui papan pengumuman di setiap kantor Bank dan halaman utama website Bank paling lama pada tanggal berlakunya perubahan SBDK tersebut.
12. SBDK dipublikasikan kepada masyarakat dalam bentuk angka akhir dari hasil perhitungan komponen SBDK.
13. Bank yang tidak melakukan publikasi informasi SBDK melalui papan pengumuman di setiap kantor Bank dan halaman utama website Bank (dalam hal Bank memiliki website), dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 PBI No.7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.
14. Bank yang tidak melakukan publikasi informasi SBDK melalui surat kabar bersamaan dengan pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dan/atau Bank yang tidak menyampaikan laporan perhitungan SBDK bersamaan dengan penyampaian Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan kepada Bank Indonesia, dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (2) dan/atau ayat (3) PBI No.3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank sebagaimana telah diubah dengan PBI Nomor 7/50/PBI/2005.
15. Bank yang menyampaikan laporan perhitungan SBDK dan/atau mempublikasikan informasi SBDK:
1. Tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya; dan/atau
2. Tidak sesuai dengan lampiran SE,
dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (4) huruf a PBI No.3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank sebagaimana telah diubah dengan PBI No.7/50/PBI/2005.
16. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 31 Maret 2011.

Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia Nomor No.13/2/DPbS tanggal 31 Januari 2011 tentang Tindak Lanjut Penanganan Terhadap Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Dalam Status Pengawasan Khusus.
Berlaku : Sejak 31 Januari 2011

Ringkasan: I. UMUM

1. Ketentuan ini merupakan ketentuan pelaksanaan berkenaan dengan keluarnya Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/6/PBI/2011 tanggal 24 Januari 2011 tentang Tindak Lanjut Penanganan Terhadap Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Dalam Status Pengawasan Khusus.
2. Bank Indonesia menilai BPRS yang mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya dan menetapkan BPRS tersebut dalam status pengawasan khusus (BPRS DPK) apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) kurang dari 4% (empat persen);
2. Cash Ratio (CR) rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 3 (tiga persen).
3. Bank Indonesia memberitahukan mengenai penetapan BPRS DPK kepada pengurus dan/atau pemegang saham BPRS yang bersangkutan.

II. UPAYA PENYEHATAN SELAMA JANGKA WAKTU PENGAWASAN KHUSUS

1. Dalam rangka pengawasan khusus, BPRS DPK menyampaikan rencana tindak (action plan) yang realistis dengan mempertimbangkan kemampuan BPRS.
2. Dalam hal langkah penyehatan BPRS DPK dilakukan dengan cara penambahan setoran modal maka dalam penyusunan action plan harus memperhitungkan potensi kerugian antara lain pembentukan cadangan PPAP yang cukup dan biaya tenaga kerja.
3. BPRS DPK menyampaikan laporan atas pelaksanaan action plan paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah action plan tersebut dilaksanakan.

III. LARANGAN YANG BERKAITAN DENGAN BPRS DPK

1. Bank Indonesia menetapkan larangan penghimpunan dan penyaluran dana terhadap BPRS DPK serta memberitahukan larangan tersebut kepada BPRS yang bersangkutan apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Pada saat penetapan status dalam pengawasan khusus, BPRS memiliki rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 0% (nol persen) dan/atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir sama dengan atau kurang dari 1% (satu persen).
2. Pada saat penetapan status dalam pengawasan khusus, BPRS memiliki rasio KPMM lebih dari 0% (nol persen) dan/atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir lebih dari 1% (satu persen), namun selama masa pengawasan khusus mengalami penurunan rasio KPMM sehingga menjadi sama dengan atau kurang dari 0% (nol persen) dan/atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir sama dengan atau kurang dari 1% (satu persen).
2. Larangan penghimpunan dana meliputi penghimpunan dana dalam bentuk tabungan dan/atau deposito yang sumber dananya berasal dari:
1. Fresh money, yaitu setoran tunai dan/atau melalui transfer ke rekening BPRS di bank lain, kecuali untuk angsuran/pelunasan pembiayaan;
2. Pemindahbukuan selain dari:
1. akun tabungan dan/atau deposito atas nama yang sama,
2. akun biaya dalam rangka pembayaran gaji pengurus dan karyawan BPRS yang bersangkutan ke akun tabungan.
Termasuk penghimpunan dana yang dilarang adalah penghimpunan dana sebagaimana tersebut di atas yang dilakukan melalui sarana mesin elektronik antara lain Automatic Teller Machine (ATM)/ Automatic Deposit Machine (ADM).
3. Larangan penyaluran dana meliputi penyaluran pembiayaan baru, termasuk komitmen penyaluran pembiayaan yang belum direalisasikan, kecuali dalam rangka restrukturisasi pembiayaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku sepanjang dalam restrukturisasi pembiayaan tersebut tidak terdapat penambahan plafon pembiayaan.

IV. JANGKA WAKTU PENGAWASAN KHUSUS DAN PERPANJANGAN

1. Jangka waktu pengawasan khusus ditetapkan paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak tanggal penetapan BPRS DPK oleh Bank Indonesia dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali dengan jangka waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak berakhirnya jangka waktu status pengawasan khusus.
2. BPRS DPK dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu pengawasan khusus kepada Bank Indonesia paling lambat dalam batas waktu 150 (seratus lima puluh) hari sejak ditetapkan dalam status pengawasan khusus.
3. Apabila dalam jangka waktu pengawasan khusus pemegang saham melakukan setoran modal sehingga BPRS DPK memenuhi kriteria untuk dikeluarkan dari status pengawasan khusus, tetapi proses penelitian atas kelengkapan dan kebenaran setoran modal tersebut yang dilakukan oleh Bank Indonesia melampaui jangka waktu/batas akhir pengawasan khusus maka BPRS DPK belum dapat dikeluarkan dari status pengawasan khusus, dan bagi BPRS DPK yang dilarang melakukan penghimpunan dan penyaluran dana maka larangan tersebut tetap berlaku.

V. PENAMBAHAN DAN PENCAIRAN SETORAN MODAL PADA ESCROW ACCOUNT

1. Penambahan modal BPRS DPK oleh pemegang saham lama maupun pemegang saham baru ditempatkan dalam escrow account.
2. Pengertian penambahan modal dalam bentuk escrow account adalah setoran modal yang ditempatkan dalam bentuk deposito pada Bank Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah di Indonesia atas nama ”Dewan Gubernur Bank Indonesia q.q. BPRS yang bersangkutan” dengan mencantumkan keterangan ”Pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Dewan Gubernur Bank Indonesia”.
3. Dalam masa status pengawasan khusus, BPRS DPK dapat mengajukan permohonan pencairan dana atas setoran modal yang ditempatkan pada escrow account.

VI. PEMBERITAHUAN KEPADA LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DAN PENCABUTAN IZIN USAHA

1. Bank Indonesia memberitahukan kepada LPS mengenai BPRS yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus, perkembangan kondisi BPRS DPK, BPRS yang dikeluarkan dari status pengawasan khusus, BPRS DPK yang tidak dapat disehatkan dan pencabutan izin usaha BPRS DPK yang tidak diselamatkan.
2. Selama jangka waktu BPRS dalam status pengawasan khusus termasuk perpanjangan jangka waktu pengawasan khusus apabila diberikan perpanjangan jangka waktu, berdasarkan penilaian/evaluasi yang dilakukan terhadap kondisi BPRS DPK, Bank Indonesia sewaktu-waktu dapat memberitahukan kepada LPS dan meminta LPS untuk memberikan keputusan menyelamatkan atau tidak menyelamatkan.
3. Dalam hal LPS memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan terhadap BPRS DPK, Bank Indonesia mencabut izin usaha BPRS yang bersangkutan.
4. Bank Indonesia mengumumkan keputusan pencabutan izin usaha BPRS kepada masyarakat. Penyelesaian lebih lanjut terhadap BPRS yang dicabut izin usahanya oleh Bank Indonesia dilakukan oleh LPS sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

VII. PENGUMUMAN YANG BERKAITAN DENGAN BPRS DPK

1. Bank Indonesia mengumumkan penetapan status BPRS DPK pada tanggal yang sama dengan tanggal penetapan status pengawasan khusus.
2. Bank Indonesia mengumumkan larangan penghimpunan dan penyaluran dana bagi BPRS pada tanggal yang sama dengan tanggal penetapan larangan.
3. Bank Indonesia mengumumkan keputusan pencabutan izin usaha BPRS kepada masyarakat.

VIII. PELAPORAN

Dalam rangka melakukan pemantauan terhadap perkembangan kondisi BPRS DPK dan upaya-upaya penyehatan yang dilakukan, BPRS DPK menyampaikan neraca harian secara mingguan dan pelaksanaan action plan kepada Bank Indonesia.

IX. PENUTUP

Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/50/DPBPR tanggal 1 November 2005 perihal Tindak Lanjut Penanganan terhadap Bank Perkreditan Rakyat dalam Status Pengawasan Khusus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Peraturan : Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/6/PBI/2011 tanggal 24 Januari 2011 tentang Tindak Lanjut Penanganan Terhadap Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Dalam Status Pengawasan Khusus
Berlaku : Tanggal 24 Januari 2011

Ringkasan:

1. Dalam rangka memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), diperlukan upaya penyehatan terhadap BPRS yang bersifat sistematis dan berkelanjutan guna mendorong tumbuhnya industri BPRS yang sehat. Agar upaya penyehatan terhadap BPRS yang mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya dapat dilakukan secara optimal, maka diperlukan upaya tindak lanjut yang sesuai dengan kemampuan BPRS, komitmen pemilik, dan alternatif peluang yang dimiliki.
2. Pokok-pokok pengaturan dalam PBI ini antara lain meliputi:
1. Bank Indonesia menetapkan BPRS dalam status pengawasan khusus apabila memenuhi 1 (satu) atau lebih kriteria sebagai berikut:
1. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) kurang dari 4% (empat persen);
2. Cash Ratio (CR) rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 3% (tiga persen).
2. Dalam rangka tindak lanjut pengawasan khusus, Bank Indonesia berwenang melakukan tindakan antara lain:
1. membatasi kewenangan rapat umum pemegang saham, dewan komisaris, direksi, dan pemegang saham;
2. meminta pemegang saham menambah modal;
3. meminta pemegang saham mengganti anggota dewan komisaris dan/atau direksi BPRS;
4. meminta BPRS menghapusbukukan penyaluran dana yang macet dan memperhitungkan kerugian BPRS dengan modalnya;
5. meminta BPRS melakukan penggabungan atau peleburan dengan BPRS lain;
6. meminta BPRS dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajibannya;
7. meminta BPRS menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan BPRS kepada pihak lain; dan/atau
8. meminta BPRS menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban BPRS kepada pihak lain; dan/atau
9. menghentikan kegiatan usaha tertentu dalam waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
3. BPRS yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus wajib:
1. menyampaikan rencana tindak (action plan) penyehatan BPRS yang realistis sesuai dengan permasalahan yang dihadapi paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak BPRS ditetapkan dalam status pengawasan khusus yang ditandatangani oleh Direksi, Dewan Komisaris, dan Pemegang Saham Pengendali BPRS;
2. melaksanakan action plan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
3. menyampaikan laporan pelaksanaan action plan sebagaimana dimaksud pada huruf b paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pelaksanaan action plan; dan
4. melakukan penyesuaian action plan yang disampaikan sebagaimana dimaksud pada huruf a atas permintaan Bank Indonesia.
4. Dalam rangka pengawasan khusus, Bank Indonesia dapat menempatkan petugas Bank Indonesia untuk melakukan pemantauan secara langsung terhadap kegiatan operasional BPRS dan tidak mengurangi tanggung jawab Dewan Komisaris, Direksi dan/atau pemegang saham BPRS terhadap kegiatan operasional dan kewajiban BPRS.
5. Bank Indonesia memberitahukan kepada LPS mengenai BPRS yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus disertai dengan keterangan mengenai kondisi BPRS yang bersangkutan.
6. BPRS dalam status pengawasan khusus yang memiliki rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 0% (nol persen) dan/atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir sama dengan atau kurang dari 1% (satu persen), dilarang melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana yang berlaku sejak tanggal penetapan larangan sampai dengan BPRS keluar dari status pengawasan khusus.
7. Jangka waktu pengawasan khusus ditetapkan paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak tanggal penetapan BPRS dalam status pengawasan khusus dari Bank Indonesia.
8. Penambahan modal yang dilakukan oleh BPRS dalam status pengawasan khusus wajib ditempatkan dalam escrow account di Bank Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah dan penambahan modal tersebut harus sesuai dengan ketentuan permodalan yang berlaku.
9. Jangka waktu status pengawasan khusus dapat diperpanjang 1 (satu) kali dengan jangka waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak berakhirnya jangka waktu status pengawasan khusus, dengan syarat BPRS telah meningkatkan:
1. rasio KPMM paling kurang sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari selisih untuk mencapai rasio KPMM 4% (empat persen) dan rasio KPMM lebih dari 0% (nol persen); dan/atau
2. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari selisih untuk mencapai CR 3% (tiga persen) dan CR lebih dari 1% (satu persen).
10. Bagi BPRS yang tidak memenuhi angka 9 tersebut di atas dimana sumber dana setoran modalnya berasal dari APBD, dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu status pengawasan khusus disertai dengan komitmen pemegang saham untuk menambah setoran modal sehingga meningkatkan rasio KPMM menjadi paling kurang 4% (empat persen) dan CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang 3% (tiga persen).
11. Bank Indonesia menetapkan BPRS dikeluarkan dari status pengawasan khusus apabila memenuhi kriteria Rasio KPMM paling kurang sebesar 4% (empat persen) dan CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang sebesar 3% (tiga persen).
12. Selama jangka waktu status pengawasan khusus, Bank Indonesia sewaktu-waktu dapat memberitahukan kepada LPS dan meminta LPS untuk memberikan keputusan menyelamatkan atau tidak menyelamatkan BPRS, dalam hal BPRS yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. BPRS memiliki rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 0% (nol persen) dan/atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir sama dengan atau kurang dari 1% (satu persen); dan
2. berdasarkan penilaian Bank Indonesia, BPRS tidak mampu meningkatkan rasio KPMM menjadi paling kurang sebesar 4% (empat persen) dan CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang sebesar 3% (tiga persen).
13. Pada saat berakhirnya jangka waktu pengawasan khusus, Bank Indonesia memberitahukan kepada LPS dan meminta LPS untuk memberikan keputusan menyelamatkan atau tidak menyelamatkan BPRS yang memenuhi kriteria yaitu rasio KPMM kurang dari 4% (empat persen); dan/atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 3% (tiga persen).
14. Dalam hal LPS memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan terhadap BPRS, Bank Indonesia mencabut izin usaha BPRS yang bersangkutan setelah memperoleh pemberitahuan dari LPS serta Bank Indonesia memberitahukan keputusan pencabutan izin usaha kepada BPRS yang bersangkutan dan LPS.
15. Sanksi:
1. Anggota Dewan Komisaris, Direksi, dan/atau pegawai BPRS dalam status pengawasan khusus yang melanggar larangan dapat dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) huruf b Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. BPRS dalam status pengawasan khusus yang melanggar ketentuan dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa:
1. teguran tertulis; dan/atau
2. pencantuman anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai dan pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak memenuhi persyaratan (tidak lulus) dalam uji kemampuan dan kepatutan BPRS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai uji kemampuan dan kepatutan Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
16. Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka:
1. Peraturan Bank Indonesia No.7/34/PBI/2005 tentang Tindak Lanjut Penanganan Terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam Status Pengawasan Khusus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
2. Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.7/34/PBI/2005 tentang Tindak Lanjut Penanganan Terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam Status Pengawasan Khusus, dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.

Peraturan : Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/5/PBI/2011tanggal 24 Januari 2011 tentang Batas Maksimum Penyaluran Dana Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
Berlaku : Tanggal 1 Februari 2011

Ringkasan:

Latar Belakang

Bahwa penerapan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran dana perlu dilakukan, antara lain dengan penyebaran portofolio penyaluran dana yang diberikan agar risiko penyaluran dana tersebut tidak terpusat pada nasabah penerima fasilitas atau sekelompok nasabah penerima fasilitas tertentu. Sejalan dengan hal tersebut, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang Batas Maksimum Penyaluran Kredit Bank Perkreditan Rakyat No.31/61/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998.

Materi Pengaturan

1. Batas Maksimum Penyaluran Dana (BMPD) adalah persentase maksimum realisasi penyaluran dana terhadap modal Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) yang mencakup pembiayaan dan penempatan dana BPRS di bank lain.
2. Pelanggaran BMPD yaitu selisih lebih persentase penyaluran dana pada saat direalisasikan terhadap modal BPRS dengan BMPD yang diperkenankan.
3. Pelampauan BMPD yaitu selisih lebih antara persentase penyaluran dana yang telah direalisasikan terhadap modal BPRS pada saat tanggal laporan dengan BMPD yang diperkenankan, dan penyaluran dana tersebut bukan merupakan pelanggaran BMPD.
4. BPRS wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah dalam membuat akad pembiayaan antara BPRS dengan nasabah penerima fasilitas.
5. BPRS dilarang membuat akad pembiayaan apabila akad pembiayaan tersebut mewajibkan BPRS untuk menyalurkan dana yang akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran BMPD.
6. BPRS dilarang memberikan penyaluran dana yang mengakibatkan pelanggaran BMPD.
7. BMPD untuk pembiayaan dihitung berdasarkan baki debet pembiayaan sedangkan BMPD untuk penempatan dana antar bank pada BPRS lain dihitung berdasarkan nominal penempatan dana antar bank.
8. Penyaluran dana kepada seluruh pihak terkait ditetapkan paling tinggi 10% dari modal BPRS.
9. Penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan kepada pihak terkait wajib memperoleh persetujuan dari 1 (satu) orang anggota Direksi dan 1 (satu) orang anggota Dewan Komisaris BPRS.
10. Penyaluran dana dalam bentuk penempatan dana antar bank kepada BPRS lain yang merupakan pihak tidak terkait dan/atau dalam bentuk pembiayaan kepada 1 (satu) nasabah penerima fasilitas yang merupakan pihak tidak terkait ditetapkan paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari modal BPRS.
11. Penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan kepada 1 (satu) kelompok nasabah penerima fasilitas yang merupakan pihak tidak terkait ditetapkan paling tinggi 30% dari modal BPRS.
12. BPRS wajib menyusun dan menyampaikan rencana tindak (action plan) untuk penyelesaian pelanggaran BMPD dan/ atau pelampauan BMPD.
13. Action plan tersebut wajib memuat paling kurang langkah-langkah untuk penyelesaian pelanggaran BMPD dan/atau pelampauan BMPD serta target waktu penyelesaian.
14. BPRS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan action plan untuk penyelesaian pelanggaran BMPD dan/atau pelampauan BMPD disertai dengan bukti pendukungnya.
15. BPRS wajib menyusun dan menyampaikan laporan BMPD kepada Bank Indonesia secara on-line setiap bulan secara benar, lengkap dan tepat waktu paling lama tanggal 14 pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan.
16. Laporan BMPD mencakup:
1. Penyaluran Dana kepada pihak tidak terkait yang melanggar dan melampaui BMPD; dan
2. Seluruh penyaluran dana kepada pihak terkait.
17. BPRS wajib melaporkan struktur kelompok usaha yang terkait dengan BPRS termasuk badan hukum pemilik BPRS sampai dengan ultimate shareholders kepada Bank Indonesia, 1 tahun sekali untuk posisi akhir tahun dan setiap terdapat rencana perubahan struktur kelompok usaha yang menyebabkan perubahan pengendali BPRS.
18. BPRS wajib mengungkapkan ultimate shareholders BPRS dalam laporan keuangan tahunan dan laporan keuangan publikasi BPRS. Kewajiban ini merupakan tambahan atas kewajiban pengungkapan informasi mengenai pemegang saham BPRS.
19. BPRS yang tidak memenuhi Peraturan Bank Indonesia ini akan dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
20. Ketentuan Peralihan:
1. Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.31/61/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat tetap berlaku dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
2. Terhadap pelanggaran atas kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada huruf 19.a tetap berlaku ketentuan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.31/61/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat.
21. Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.31/61/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998 tentang Batas Maksimum Penyaluran Kredit Bank Perkreditan Rakyat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/6/DPNP tanggal 18 Februari 2011 perihal Pedoman Perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko Untuk Risiko Kredit dengan Menggunakan Pendekatan Standar
berlaku Tanggal 2 Januari 2012

Ringkasan:

1. Surat Edaran (SE) ini diterbitkan dalam rangka penyempurnaan pengaturan terkait dengan perhitungan aset tertimbang menurut risiko (ATMR) agar membuat perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) semakin mencerminkan risiko yang dihadapi Bank serta sejalan dengan standar yang berlaku secara internasional.
2. Pokok pokok pengaturan dalam ketentuan ini adalah sebagai berikut:
1. Risiko Kredit meliputi Risiko Kredit akibat kegagalan debitur, Risiko Kredit akibat kegagalan pihak lawan (counterparty credit risk), Risiko Kredit akibat kegagalan setelmen (settlement risk).
2. Formula perhitungan ATMR adalah Tagihan Bersih x Bobot Risiko.
3. Perhitungan Tagihan Bersih adalah sebagai berikut:
1. Untuk eksposur aset dalam neraca
= (nilai tercatat aset + tagihan bunga yang belum diterima (jika ada)) – (CKPN dan/atau PPA Khusus)
CKPN: cadangan kerugian penurunan nilai
PPA khusus: penyisihan penghapusan aset khusus
2. Untuk eksposur transaksi rekening administrative
= (Kewajiban komitemen atau kontijensi - PPA Khusus) x Faktor Konversi Kredit
3. Untuk eksposur yang menimbulkan counterparty credit risk
1. Untuk eksposur transaksi derivatif:
1. Bila positif mark to market (MTM), tagihan derivatif + potential future exposure
2. Bila negatif MTM, potential future exposure
2. Untuk eksposur transaksi repo: (SSB repo – CKPN) – kewajiban repo
3. Untuk eksposur transaksi reverse repo: tagihan reverse repo - CKPN
4. Khusus untuk eksposur yang menimbulkan settlement risk
1. DvP: ATMR = 12,5 x persentase tertentu x positive current exposure
2. Non DvP: Faktor Pengurang Modal = nilai wajar dari instrumen keuangan yang telah diserahkan.
4. Bobot Risiko ditetapkan berdasarkan: (i) peringkat debitur atau pihak lawan, sesuai kategori portofolio; atau (ii) prosentase tertentu untuk jenis tagihan tertentu.
5. Kategori portofolio meliputi (i) Tagihan Kepada Pemerintah; (ii) Tagihan Kepada Entitas Sektor Publik; (iii) Tagihan Kepada Bank Pembangunan Multilateral dan Lembaga Internasional; (iv) Tagihan Kepada Bank; (v) Kredit Beragun Rumah Tinggal; (vi) Kredit Beragun Properti Komersial; (vii) Kredit Pegawai atau Pensiunan; (viii) Tagihan Kepada Usaha Mikro, Usaha Kecil dan Portofolio Ritel; (ix) Tagihan Kepada Korporasi; (x) Tagihan Yang Telah Jatuh Tempo; (xi) Aset Lainnya.
6. Peringkat yang dipergunakan adalah peringkat terkini yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat yang diakui oleh Bank Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku. Peringkat domestik digunakan untuk penetapan bobot risiko tagihan dalam Rupiah dan peringkat internasional digunakan untuk penetapan bobot risiko tagihan valuta asing. Tagihan dalam bentuk surat-surat berharga (SSB) menggunakan peringkat SSB, sedangkan tagihan dalam bentuk selain SSB menggunakan peringkat debitur.
7. Teknik mitigasi risiko kredit (MRK) yang diakui adalah (i) Teknik MRK - Agunan; (ii) Teknik MRK – Garansi; (iii) Teknik MRK – Penjaminan atau Asuransi Kredit.
8. Jenis agunan yang diakui dalam Teknik MRK – Agunan hanyalah yang berupa aset keuangan yaitu (i) uang tunai yang disimpan di bank penyedia dana; (ii) giro, tabungan, deposito yang diterbitkan oleh Bank penyedia dana; (iii) Emas yang disimpan oleh Bank penyedia dana; (iv) Surat Utang Negara (SUN); (v) Surat Berharga Syariah Negara (SBSN); (vi) Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS); (vii) Surat Berharga dengan peringkat tertentu. Terdapat 2 pendekatan untuk menghitung ATMR atas eksposur yang menggunakan Teknik MRK – Agunan yaitu Pendekatan Sederhana dan Pendekatan Komprehensif.
9. Penerbit Garansi yang diakui dalam Teknik MRK – Garansi meliputi (i) Pihak yang tergolong Tagihan Kepada Pemerintah; (ii) Pihak yang tergolong sebagai Tagihan Kepada Pemerintah Negara Lain dengan bobot risiko lebih rendah dan peringkat paling kurang BBB-; (iii) Bank Umum yang berbadan hukum Indonesia, kantor cabang bank asing dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia dengan bobot risiko lebih rendah; (iv) Bank yang berbadan hukum asing dan tergolong prime bank; (v) Lembaga keuangan yang bergerak di bidang penjaminan atau asuransi dan tergolong sebagai Tagihan Kepada ESP dan Tagihan Kepada Korporasi.
3. Dengan diberlakukannya Surat Edaran ini, maka ketentuan di bawah ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku:
1. Surat Edaran BI No.26/1/BPPP tanggal 29 Mei 1993 perihal Kewajiban Penyediaan Modal Minimum bagi Bank Umum;
2. Surat Edaran BI No.2/12/DPNP tanggal 12 Juni 2000 perihal Penilaian Aktiva Produktif dalam Penghitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko;
3. Surat Edaran BI No.8/3/DPNP tanggal 30 Januari 2006 perihal Perubahan Penghitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko untuk Kredit Usaha Kecil, Kredit Pemilikan Rumah, dan Kredit Pegawai/Pensiunan;
4. Surat Edaran BI No.11/1/DPNP tanggal 21 Januari 2009 perihal Perhitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko untuk Kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.